Kamis, 23 Juni 2011

Dampak perkebunan terhadap Keanekaragaman Hayat dan Plamanutfah

BAB I

PENDAHULUAN

Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor perkebunan, karena sektor ini memiliki arti yang sangat penting dan menentukan dalam pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di banyak wilayah di Indonesia. Perkembangan perkebunan pada satu sisi dianggap sebagai jembatan yang menghubungkan masyarakat Indonesia dengan ekonomi dunia, memberi keuntungan finansial yang besar, serta membuka kesempatan ekonomi baru, namun pada sisi yang lain perkembangan perkebunan juga dianggap sebagai ancaman bagi keanekaragaman hayati dan plasma nutfah yang ada di indonesia.

Perkebunan itu sendiri merupakan tanaman tua, Jenis tanaman perkebunan yang ada di Indonesia meliputi karet, cokelat, teh tembakau, kina, kelapa sawit, kapas, cengkeh dan tebu. Berbagai jenis di antara tanaman tersebut merupakan tanaman ekspor (kegiatan mengirim barang ke luar negeri ) yang menghasilkan devisa (tabungan bagi Negara) karena ini salah satu sumber pendapatan negara maka pemerintah ingin meningkatan kualitas pertanian terutama perkebunan tersebut dan hal ini juga didukung oleh Indonesia memiliki keanekaragaman hayati (KH) yang sangat tinggi, baik keanekaragaman ekosistem, keaneka-agaman spesies, maupun keragaman genetik dari setiap jenis yang bisa di manfaatkan. Pemanfaatan KH tersebut telah dilakukan sejak awal kehidupan manusia untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar mereka, seperti untuk pangan, sandang, papan maupun obat-obatan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KERAGAAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN

Untuk menggambarkan keragaan sub sektor perkebunan diuraikan gambaran mengenai:

1. Areal penanaman, produksi dan permasalahan yang dihadapi

2. Perdagangan komoditas perkebunan.

2.1.1. Luas Areal dan Produksi

Dalam Tabel 2.1. tampak bahwa luas areal tanam komoditas utama perkebunan terus meningkat. Dalam periode 1998-2003 rata-rata peningkatan luas areal perkebunan sebesar 3,6% per tahun secara nasional. Data pada Tabel 2.1 menunjukkan bahwa luas areal perkebunan meningkat dari 14,5 juta hektar pada tahun 1998 menjadi 17,3 juta hektar pada tahun 2003. Pertumbuhan luas areal per komoditas yang tinggi adalah kelapa sawit (12 %), kakao (9,9%), lada (9,3%), tembakau (9,4%) dan kopi (3,8%). Sementara untuk karet, tebu dan kapas mengalami pertumbuhan yang negatif.

Tabel 2.1. Perkembangan Areal Perkebunan Periode 1995 – 2003 (ribu Ha)

Sementara tidak semua luas areal komoditas meningkat, pertumbuhan produksi masing-masing komoditas tersebut menunjukan angka positif, artinya, dalam komoditas tersebut tidak saja terjadi pertambahan luas areal tetapi juga peningkatan produktivitas (Tabel 2.2). Komoditas-komoditas seperti minyak kelapa sawit, kopi dan jambu mete produksinya meningkat dengan rata-rata pertumbuhan lebih tinggi dari pertumbuhan areal yang artinya komoditas ini mengalami peningkatan produktivitas. Pada komoditas lada dan kakao, pertumbuhan produksi lebih rendah dari pertumbuhan areal yang mungkin disebabkan karena produktivitas yang rendah dan/atau masih banyak tanaman/kebun yang belum menghasilkan (setelah dilakukan peremajaan/penanaman). Untuk karet dan kapas meskipun terjadi penurunan luas areal namun pertumbuhan produksi masih positif. Hal ini menunjukan adanya peningkatan produktivitas yang cukup signifikan. Namun tidak demikian pada komoditas teh dan kakao yang menunjukan adanya penurunan produktivitas.

Tabel 2.2. Perkembangan Produksi Perkebunan Periode 1998 – 2003 (ribu ton)

Berkaitan dengan produktivitas, meskipun dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan, namun tingkat produktivitas tersebut masih berada dibawah produksi di negara-negara lain. Sebagai contoh, produktivitas karet rakyat adalah 0,6 ton per ha per tahun masih lebih rendah dibandingkan produktivitas karet perkebunan besar yang mencapai 1,1 ton/ha/tahun, masih lebih rendah dibandingkan produktivitas karet Thailand yang mencapai 1,5-2,0 ton per ha per tahun. Produktivitas kelapa sawit rakyat adalah 2,5 ton CPO per ha per tahun lebih rendah dibandingkan produktivitas kelapa sawit perkebunan besar yang mencapai 3.2-4.6 ton CPO per ha per tahun, masih rendah dibandingkan produktivitas kelapa sawit Malaysia yang mencapai 6-7 ton CPO per ha per tahun. Tingkat produktivitas komoditas perkebunan di Indonesia tersebut masih bisa ditingkatkan karena masih berada di bawah potensinya. Sebagai contoh, potensi produktivitas teh, kopi, kakao, karet dan minyak sawit masing-masing adalah 2,1 ton/ha/tahun, 1,2 ton per ha per tahun, 1,5 ton per ha per tahun, 1,6 ton per ha per tahun, dan 7-8 ton per ha per tahun.

Relatif rendahnya produktivitas perkebunan rakyat dibandingkan perkebunan besar mempersulit upaya peningkatan produksi sub sektor perkebunan. Perkebunan rakyat masih dikelola dengan penggunaan teknologi sederhana, berskala kecil dan manajemen sederhana. Sedangkan perkebunan besar milik negara dan swasta telah menerapkan teknologi modern, skala besar dan manajemen komersial. Sementara itu, upaya-upaya untuk mengaitkan keduanya untuk meningkatkan pertumbuhan tidak selalu mengalami keberhasilan. Pengalaman dalam pengembangan berbagai pola pembangunan perkebunan sampai saat ini belum menunjukkan hasil dengan masih terdapatnya ”gap” antara perkebunan rakyat dan perkebunan besar.

Selain itu, perkebunan rakyat masih didominasi dengan tanaman non-klonal, tanaman telah menua dan rusak sehingga produktivitasnya relatif rendah. Upaya untuk merehabilitasi dan meremajakan kebun petani terkendala oleh ketiadaan kredit dan keterbatasan bibit berkualitas. Pengalaman yang dijumpai menunjukkan bahwa pada beberapa tahun terakhir akselerasi produktivitas melalui rehabilitasi dan peremajaan berjalan lambat karena hanya mengandalkan dukungan APBN dan pinjaman luar negeri yang semakin terbatas. Perluasan tanaman untuk meningkatkan produksi juga relatif stagnan, kecuali untuk beberapa komoditas unggulan, seperti kelapa sawit.

Permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan benih antara lain usaha perbenihan masih belum berkembang, terutama untuk bibit klonal. Tingkat adopsi penggunaan teknologi benih unggul terutama di perkebunan rakyat masih rendah dengan tidak adanya kredit dan dukungan untuk peremajaan. Pengembangan komoditas sering tidak sinkron dengan potensi penyediaan benih, dan tidak sesuainya lokasi kebun induk dengan lokasi penyebaran areal pengembangan.

Sub sektor perkebunan juga menghadapi permasalahan dengan pengolahan hasil, dimana produk perkebunan masih didominasi oleh komoditas olahan primer, padahal nilai tambah yang tinggi berada pada produk olahan dalam bentuk produk setengah jadi dan produk jadi, baik barang untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Saat ini, nilai tambah tersebut banyak dinikmati oleh industri pengolahan hasil (industri hilir) yang berada di luar negeri. Terbatasnya pengembangan pengolahan hasil perkebunan disebabkan oleh rendahnya konsistensi kualitas komoditas perkebunan dan terbatasnya pengembangan agroindustri di Indonesia. Namun demikian, pengembangan kualitas komoditas berkaitan erat dengan insentif ekonomi untuk meningkatkan kualitas komoditas. Kegagalan-kegagalan program peningkatan mutu, seperti pada kakao, kopi, karet dan teh, lebih disebabkan karena tidak cukupnya insentif ekonomi sebagai penghargaan dari upaya peningkatan mutu.

Masalah pengembangan industri hilir perkebunan dan produk turunannya diperkirakan berasal dari kurangnya insentif dalam investasi di bidang industri yang terjadi karena penerapan pajak dan pungutan, seperti pajak pertambahan nilai, retribusi daerah dan tarif impor produk olahan sejenis yang relatif rendah.

2.2.2. Perdagangan Komoditas Perkebunan

Volume ekspor dari beberapa komoditas perkebunan, yaitu karet dan kopi cenderung turun selama periode tahun 1998-2003 disajikan dalam Tabel 2.3. Dari volume ekspor tersebut nampak bahwa sebagian besar komoditas perkebunan yang diproduksi di ekspor ke luar negeri yaitu antara 9-83% Dari Tabel 2.3 terlihat bahwa volume ekspor beberapa komoditas seperti kopi, karet dan tembakau selama periode tahun 1998 – 2003 mengalami penurunan, masing-masing sebesar 2,39%, 2,30% dan 2,20% per tahun. Namun sebaliknya, volume ekspor minyak kelapa sawit, teh dan kakao, mengalami peningkatan, masing-masing 41,43%, 10,53%, dan 8,60% per tahun. Khusus untuk minyak kelapa sawit, volume ekspor pada tahun 2003 tersebut meningkat sekitar 3,5 kali lipat dibandingkan tahun 1998.

Tabel 2.3. Perkembangan Volume Ekspor Komoditas Primer Perkebunan (ribu Ton)

Sementara volume ekspor meningkat, peningkatan nilai ekspor hanya dialami oleh minyak sawit dan kakao. Peningkatan nilai ekspor ini telah mengakibatkan masih positifnya pertumbuhan nilai ekspor komoditas perkebunan yang rata-rata mencapai sebesar 5,24% per tahun untuk periode 1998-2003 (Tabel 2.4).

Tabel 2.4. Perkembangan Nilai Ekspor Komoditas Primer Perkebunan (US $ 1.000)

Sumber : Badan Pusat Statistik (2004)

Keterangan : 1) Angka sementara, 2) Angka perkiraan

Dalam hal impor komoditas primer perkebunan, hal yang perlu diperhatikan adalah relatif tingginya impor serat kapas, gula tebu dan tembakau (Tabel 2.5). Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 1999 volume dan nilai impor gula pasir selama periode 1999 sampai dengan tahun 2003 mengalami penurunan masing-masing sebesar 22,81% dan 30,29%. Hal yang sama terjadi pada tembakau, namun dengan volume dan nilai yang jauh lebih kecil. Untuk serat kapas, volume dan nilai impornya cenderung naik, walaupun kenaikan nilai impor lebih rendah dari kenaikan volumenya.

Tabel 2.5. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Beberapa Komoditas Primer Perkebunan Tahun 1999 – 2003

Sumber : Badan Pusat Statistik (2004)

Keterangan: 1) Angka sementara, data sampai bulan Nopember 2003, sehingga laju pertumbuhan dihitung dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2002

Dari data dan uraian di depan nampak bahwa komoditas perkebunan sebagian adalah komoditas ekspor yang menyumbang terhadap penerimaan devisa. Dengan demikian, keragaannya sangat dipengaruhi oleh daya saing komoditas dan perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam negeri maupun pasar dunia. Pada umumnya, posisi produksi dan ekspor komoditas perkebunan Indonesia terhadap produksi dan pasar dunia cukup penting. Sebagai contoh, karet dan minyak sawit menduduki posisi produksi dan ekspor pada urutan ke 2, setelah Thailand dan Malaysia. Untuk komoditas kakao, posisi Indonesia juga berada pada peringkat 2 dunia di bidang produksi serta peringkat 3 untuk ekspor, serta untuk komoditas teh berada pada posisi ke 4 dunia baik produksi maupun ekspor (Tabel 2.6).

Tabel 2.6. Peta Produksi dan Ekspor Beberapa Komoditas Perkebunan Tahun 2003

Sumber : Deptan, 2005 (diolah)

Berdasarkan kondisi di atas, Indonesia memegang peranan yang penting dalam menyumbang produksi beberapa komoditas perkebunan terutama kelapa sawit dan karet. Untuk komoditas teh dan kakao meskipun menempati posisi yang besar di peta produksi dunia, namun angka produksinya relatif rendah karena hanya menyumbang sekitar 4 – 5 % poduksi dunia.

Sementara itu, terlihat pula bahwa Malaysia, Vietnam dan Thailand telah menjadi pesaing utama negara kita terhadap beberapa komoditas perkebunan terutama kelapa sawit. Jika menengok kembali ke belakang, Vietnam dan Thailand ketiga negara tersebut beberapa tahun yang lalu belum diperhitungkan dalam kancah perdagangan komoditas perkebunan di pasaran dunia. Percepatan yang mereka raih sangat terkait dengan kebijakan pemerintah yang kondusif terhadap perkembangan komoditas perkebunan di negara-negara tersebut.

2.2. Kebijakan Pemerintah Dalam Pembangunan Perkebunan

Dalam implementasinya, kebijakan pemerintah di bidang perkebunan dapat berupa kebijakan sektoral, komoditas dan lintas komoditas, dan pengembangan wilayah. Pada mulanya, yaitu antara tahun 1969 hingga 1979, kebijakan peningkatan produksi perkebunan berorientasi pada perkebunan rakyat. Pola pengembangan ini dijalankan dengan memberikan bibit, input produksi, pembangunan demonstrasi plot, dan penyuluhan kepada petani di wilayah perkebunan rakyat. Pada periode selanjutnya, pada waktu terjadi upaya-upaya peningkatan ekspor non migas, kebijakan-kebijakan pemerintah untuk meningkatkan produksi perkebunan dikelompokkan menjadi empat pola pengembangan, yaitu:

(i) Perusahaan Inti Rakyat (PIR);

(ii) Unit Pelayanan Pengembangan (UPP);

(iii) Pola Swadaya; dan

(iv) Perkebunan Besar Nasional (PBN).

Pola PIR adalah pola pengembangan yang memadukan perusahaan perkebunan sebagai inti dan usaha tani petani (perkebunan rakyat) sebagai plasma. Pola ini dikembangkan di wilayah baru dengan menghadirkan seluruh komponen agribisnis, yaitu penyediaan input hingga pemasaran hasil, di lokasi PIR. Sumber dana pembangunan pola ini berasal dari pinjaman luar negeri dan APBN. Petani peserta PIR adalah petani transmigran dan/atau petani lokal. Pengembangan pola PIR ini berlangsung dari tahun 1977 hingga tahun 1991 untuk karet; tahun 1980 hingga tahun 1988 untuk kelapa sawit dan tahun 1981 hingga tahun 1987 untuk teh. Pola PIR ini kemudian dikembangkan di daerah transmigrasi (PIR-Trans) dari tahun 1986 hingga 1993 dengan tanaman/komoditas yang dikembangkan adalah tanaman/komoditas kelapa sawit.

Pola UPP menggunakan pendekatan keterpaduan antara petani, lembaga petani dan mitra usaha. Areal kebun yang dikembangkan merupakan areal yang tidak menyebar dengan memperhitungkan skala ekonomi yang efisien. Petani peserta pola ini mendapatkan bantuan input lengkap, termasuk sarana pengolahan, untuk usahataninya dalam bentuk kredit usahatani. Sumber dana pola ini berasal dari pemerintah (UPP Swadana) atau pinjaman luar negeri (UPP Berbantuan).

Proyek UPP Swadana diterapkan melalui proyek Peremajaan dan Rehabilitasi Tanaman Ekspor (PRPTE) dengan tanaman yang dikembangkan diantaranya adalah teh, kopi, kakao, dan karet. Sedangkan proyek UPP Berbantuan diantaranya adalah Tree Crops Smallholder Development Project (TCSDP) dan Tree Crops Smallholders Project (TCSSP) dengan tanaman yang dikembangkan diantaranya adalah karet dan teh. UPP Swadana dimulai pada tahun 1977 dan berakhir tahun 1992, sedangkan UPP Berbantuan dimulai tahun 1974 dan berakhir tahun 1992.

Pola Swadaya merupakan pola pengembangan perkebunan rakyat dengan sasaran petani yang tidak terjangkau oleh pola pengembangan PIR dan UPP. Bantuan yang diberikan kepada petani berupa penyuluhan dan bantuan input terbatas sebagai perangsang pembangunan perkebunan di suatu wilayah tertentu. Dana untuk bantuan ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pendekatan yang digunakan adalah hamparan, domisili dan keterkaitan antara sub sektor perkebunan dengan sub sektor pertanian lainnya. Sasaran wilayah pengembangan adalah wilayah timur Indonesia, daerah aliran sungai, wilayah terpencil dan wilayah kritis.

Pola Swadaya dikembangkan melalui beberapa proyek diantaranya adalah proyek Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) dan proyek Pengembangan Perkebunan Daerah Transmigrasi (P3DT). Komoditas utama perkebunan yang dikembangkan adalah kopi, kakao, karet, dan kelapa sawit. Proyek ini dikembangkan dari tahun 1987 hingga tahun 1993.

Pola PBN yang berkembang adalah pola Pengembangan Perkebunan Swasta Nasional (PBSN). Dukungan dan fasilitasi yang diberikan yaitu pemberian ijin prinsip, persetujuan tentang pemberian Hak Guna Usaha (HGU), dan rekomendasi kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Pengembangan perkebunan swasta nasional ini sangat erat kaitannya dengan kegiatan rekomendasi KLBI yang berjalan dari tahun 1988 hingga tahun 1993. Tanaman utama perkebunan yang dikembangkan adalah kakao dan kelapa sawit. Pada periode tersebut, pola PBN tidak dikembangkan untuk perkebunan negara sehingga kesempatan investasi dan peningkatan produksi PBN terhambat.

Pada tahun 1985, pemerintah mengeluarkan kebijakan perpajakan melalui pemberlakuan pajak pertambahan nilai. Instrumen kebijakan ini berlaku untuk semua komoditas utama perkebunan. Pada era perdagangan bebas, pemerintah juga menandatangani kesepakatan perjanjian perdagangan bebas dalam Putaran Uruguay. Secara garis besar, kesepakatan-kesepakatan perdagangan bebas mencakup aspek sanitasi dan phyitosanitary (sanitary and phytosanitary), bantuan domestik (domestic support), akses pasar (market access) dan subsidi ekspor (export subsidy). Komoditas utama perkebunan masuk dalam kelompok produk tropis.

Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan spesifik komoditas utama perkebunan. Kebijakan spesifik komoditas ini dilandasi dua kepentingan, yaitu berkaitan dengan perjanjian komoditas internasional dan kepentingan dalam negeri. Sebagai contoh, kebijakan perdagangan kopi diterapkan melalui instrumen kebijakan kuota dan retensi ekspor kopi. Kuota ekspor kopi pernah diberlakukan dari tahun 1980 hingga tahun 1985 (Siswoputranto, 1993) dan retensi ekspor kopi diberlakukan pada tahun 1995. Kuota kopi ini diperkirakan menekan harga kopi karena terdapat surplus produksi yang cukup besar jumlahnya. Kebijakan standarddisasi dan pengawasan mutu kopi diterapkan dengan memberlakukan Sistem Nilai Kotor (traipse system) pada periode tahun 1978-1983 dan kemudian diganti dengan Sistem Nilai Cacat (defect system) sejak tahun 1984 (Sihotang, 1996).

Indonesia juga telah memiliki undang-undang khusus tentang perkebunan, yaitu UU No. 18 Tahun 2004 disamping aturan perundang-undangan lainnya. Hal-hal pokok yang perlu diketahui dari UU Nomor 18 Tahun 2004 adalah

1. Tujuan diselenggarakannya pembangunan perkebunan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, penerimaan negara, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan

2. Pembangunan perkebunan mempunyai fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya

3. Usaha perkebunan dilaksanakan secara terpadu dan terkait dalam agribisnis perkebunan dengan pendekatan Kawasan Pengembangan Perkebunan

4. Pelaku usaha perkebunan dapat melakukan diversifikasi usaha

5. Komponen Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota mendorong dan memfasilitasi pemberdayaan pekebun, kelompok pekebun, koperasi pekebun, serta asosiasi pekebun berdasarkan jenis tanaman yang dibudidayakan untuk mengembangkan agribisnis perkebunan.

Implikasi dari Undang-Undang perkebunan ini adalah semakin terbukanya peluang bagi pengusahaan perkebunan untuk membuka/mengembangkan perkebunan baru terkait dengan akses terhadap lahan.

2.3. PENGERTIAN PLASMA NUTFAH

Mengacu kepada hasil Convention on Biological Diversity, plasma nutfah diartikan sebagai “bahan tanaman, hewan, mikroba atau mahluk lainnya yang mengandung satuan-satuan fungsional pewarisan sifat yang mempunyai nilai, baik aktual maupun potensial” (Komnas PN, 2000). Plasma Nutfah mencakup keanekaragaman bahan genetika baik dalam bentuk varietas tradisional dan mutakhir maupun kerabat liarnya. Bahan genetika ini merupakan bahan mentah yang sangat penting bagi para pemulia tanaman, hewan dan ikan, terutama untuk merakit varietas atau galur baru. Dapat dikatakan bahwa bahan genetika ini merupakan cadangan penyesuaian genetika untuk mengatasi lingkungan yang membahayakan dan perubahan ekosistem.

Di dalam perkembangannya, plasma nutfah tidak lain adalah substansi yang terdapat dalam kelompok mahluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dalam rekayasa penciptaan bibit unggul maupun rumpun baru (Komnas PN, 1999). Dalam kaitannya dengan tanaman, plasma nutfah dapat berupa biji, jaringan tanaman, dan tanaman muda/dewasa; sedangkan pada ternak hal tersebut dapat berbentuk jaringan, semen, telur, embrio dan hewan hidup muda/dewasa (National Research Council, 1993, dan Komnas PN, 1999).

Dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Pasal 1 butir 2, yang dimaksud dengan plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup, dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul kultivar atau baru. Dengan demikian menurut undang-undang tersebut plasma nutfah merupakan keseluruhan keanekaragaman genetik yang terdapat dalam mahkluk hidup (tumbuhan, satwa dan mikroorganisme). Diantara berbagai KH yang dipengaruhi oleh keragaman dalam lingkungan dan keragaman dalam jenis (plasma nutfah), plasma nutfah pertanian (agrobiodiversity) merupakan salah satu plasma nutfah yang sangat mendesak untuk diamankan dari kepunahan maupun terjadinya erosi potensi genetiknya. Sebab plasma nutfah pertanian atau juga sering disebut dengan Flasma Nutfah (SDG) pertanian secara riil telah dan terus akan dimanfaatkan bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global.

2.4. PEMANFAATAN PLASMA NUTFAH DENGAN MENGEMBANGKAN PROGRAM PEMULIAAN Tanaman

Beberapa jenis tanaman perkebunan dapat dimuliakan secara bioteknologi sebagai pelengkap atau alternatif dari cara konvensional. Hasilnya tentu tidak harus sama, tergantung pada sifat masing-masing jenis. Apabila teknik yang cocok dapat ditemukan, maka cara pengembangan/pemuliaan akan dapat dipercepat, bahan yang digunakan dapat lebih dihemat, prosesnya dapat lebih dikendalikan, sedangkan kemungkinan infeksi penyakit dapat dibatasi.

Pemuliaan inkonvesional melalui bioteknologi (rekayasa genetik) juga memerlukan hasil karakterisasi plasma nutfah dalam penentuan gen yang dikehendaki dalam in vitro breeding (protoplasmic fusion) atau transformasi untuk menghasilkan tanaman transgenik.

Kemajuan dibidang bioteknologi memberikan kesempatan pengguna-an teknologi canggih untuk memanfaatkan plasma nutfah secara lebih efisien. Proses pemuliaan secara konvensional hanya dapat memadukan sifat-sifat dari individu-individu kerabat dekat, tetapi melalui bioteknologi kekerabatan jauh pun dapat dipadukan. Beberapa teknologi maju yang dapat dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman untuk merakit varietas unggul antara lain adalah mutasi buatan, teknik fusi sel, biak anther, dan DNA rekombinan. Dengan menggunakan teknik ini, waktu yang diperlukan untuk merakit varietas unggul dapat dimungkinkan lebih pendek daripada proses pemuliaan secara konvensional. Pelestarian plasma nutfah secara ex situ memberikan peranan yang lebih luas bagi penerapan bioteknologi untuk meneliti secara mendalam sifat-sifat plasma nutfah tersebut serta terapannya untuk keperluan pemuliaan selanjutnya. Seperti halnya di negara-negara maju, program pemanfaatan plasma nutfah di Indonesia telah berkembang sejak lama.

Berkaitan dengan hasil-hasil penemuan varietas baru, perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti hak-hak patennya dan Hak Kepemilikan Intelektual (ntelectual Property Right). Tentang hak pemulia tanaman (Plant Breeders Right), Indonesia telah memiliki Undang-undang No. 29 tahun 2000, tentang Perlindungan Varietas Tanaman, yang maknanya hampir sama dengan HKI atau IPR.

Dengan adanya pemuliaan tanaman ini diharapkan bisa mendapatkan bibit unggul dan bisa meningkatkan hasil produkusi perkebunan.

2.5. HUBUNGAN PERKEBUNAN DENGAN FLASMA NUTFAH

2.5.1. PEMBUKAAN KAWASAN HUTAN UNTUK PERKEBUNAN

Berbagai kawasan hutan di Indonesia, seperti hutan gambut yang tumbuh di lahan-lahan basah gambut, yang sangat masam (pH 4.0) dan berkandungan hara rendah, serta lahan hutan hujan pamah Dipterocarparceae ataupun non- Dipteroracpaceae telah banyak yang mengalami kerusakan. Salah satu kasus yang paling menonjol adalah pembukaan lahan gambut secara besarbesaran dalam rangka Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) sejuta hektar di Kalimantan Tengah pada tahun 1995 tanpa mempedulikan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Program di lahan seluas 1.687.112 hektar tersebut diperuntukan bagi pengembangan perkebunan dan sebagai kawasan transmigrasi. Namun gagasan tersebut pudar seiring dengan munculnya sistem pemerintahan yang baru. Akibatnya lahan lahan itu dibiarkan membentuk semak-semak belukar sehingga para transmigran yang sudah lama bermukim di sekitar tempat itu pun tidak dapat lagi menggarap lahan tersebut, karena selain lahannya sudah tidak subur, banyak hama tikus dan babi hutan. Di samping itu, air di parit-parit pun berwarna gelap kemerah-merahan serta asam, sehingga bila dikonsumsi dapat merusak gigi (Kompas, 8 Mei 2000).

Masalah lainnya, peladangan liar oleh penduduk pendatang, kebakaran hutan dan lahan, pemberian konsesi hutan (HPH), pembukaan hutan untuk transmigrasi dan perkebunan besar, serta pencurian hasil hutan, juga telah menyebabkan kerusakan ekosistem hutan secara besar-besaran. Akibatnya, keanekaragam flora dan fauna hutan menurun drastis, serta manfaat hutan bagi manusia dapat terganggu atau hilang sama sekali. Contohnya, hilangnya manfaat yang langsung bagi manusia,antara lain hasil kayu, getah, sumber obat-obatan, bahan industri, bahan kosmetik, bahan buah-buahan dan lain-lain. Di samping itu, manfaat hutan secara tidak langsung juga ikut hilang. Misalnya, sebagai pengatur tata air di alam (hidroorologi), memberi keindahan di alam, menjaga kelembaban udara, memelihara iklim lokal, habitat satwa liar, sumber plasma nutfah, kepentingan rekreasi, kepentingan ilmiah, dan lain-lain.

Dengan hilangnya plasma nutfah karna pembukaan hutan untuk dijadikan area perkebunan berdampak negative terhadap keaneka ragaman hutan yang mungkin bisa di manfaatkan suatu saat nantinya.

Secara umum, adanya gangguan hutan di mana-mana, yang paling merasakan akibatnya secara langsung adalah penduduk yang bermukim di kawasan atau sekitar kawasan hutan. Rusak atau hilangnya hutan, bukan saja dapat mengakibatkan gangguan lingkungan hayati, tapi juga secara langsung dapat mengganggu kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan hutan. Mereka yang tadinya mendapatkan bahan makanan dari jenis-jenis tumbuhan atau satwa liar dengan secara bebas di hutan, akan kehilangan sumber kehidupannya.

2.5.2. SATWA LANGKA

Dewasa ini tercatat berbagai jenis satwa liar di Indonesia yang kondisi sangat mengkhawatirkan karena adanya pembukaan hutan untuk areal perkebunan yang terus berlangsung dan kerusakan atau kehilangan habitat satwa tersebut. Misalnya, Banteng (Bos javanicus), kendati satwa ini telah dilindungi undang-undang di Indonesia, berdasarkan peraturan perlindungan binatang liar 1931, namun nasib kelangsungan satwa ini belum dapat dijamin. Gangguan habitat asli Banteng, seperti di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Pangandaran, Jawa Barat, terus berlangsung, akibat perusakan hutan oleh para pembuka lahan, serta padang penggembalaannya yang terdesak oleh suksesi hutan. Jenis mammalia langka lainnya, yaitu Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) mengalami nasib yang serupa.

Hal ini diakibatkan oleh maraknya aksi pembabatan hutan untuk dijadikan areal perkebunan, pemasangan perangkap berat, dan pemburuan diam-diam yang terjadi di wilayah hutan Sumatera Barat. Sehingga hal ini sangat mengancam terhadap keselamatan satwa langka yang telah dilindungi undang-undang itu. Jenis-jenis burung di alam tak luput juga dari gangguan manusia. Sebut saja misalnya Jalak Putih Bali, jenis-jenis burung Cendrawasih dan Gelatik Jawa. Jalak putih Bali (Leucopsar rothschildi) yang merupakan burung endemik di Bali Barat dan telah dilindungi undang-undang di Indonesia, nasibnya terus terancam akibat gangguan yang cukup serius dan tak henti dari ulah manusia, yaitu adanya perusakan habitat sebagai tempat tinggalnya di daerah-daerah hutan. Perburuan liar banyak dilakukan oleh penduduk, karena jenis burung itu laku dijual mahal di pasar-pasar burung di kota sehingga para pemburu liar ini mendapat penghasilan yang cukup besar dari memperdagangkan burung itu. Gangguan populasi burung tersebut juga diperberat lagi oleh perusakan habitat melalui penebangan kayu secara liar yang dilakukan penduduk untuk kebutuhan kayu bakar rumah tangganya atau untuk dijual. Nasib serupa juga menimpa berbagai jenis burung Cendrawasih di Irian Jaya (Papua) yang kini terancam punah akibat kerusakan hutan yang merupakan habitat burung tersebut. (Kompas, 11 April 2000).

2.5.3. PEMAKAIAN PUPUK DAN PESTISIDA

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor komoditas perkebunan disamping beberapa negara lain, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Sri Lanka, India, Brazil, Columbia, Pantai Gading dan Ghana. Dalam rangka mengembangkan perkebunan, beberapa negara pesaing tersebut tidak tertutup kemungkinan mempunyai kepentingan untuk melindungi petaninya dari persaingan dengan negara pengekspor lain. Perlindungan itu diwujudkan melalui berbagai kebijakan produksi, perdagangan, investasi, dan pengolahan terutama terkait dengan mutu, dari komoditas primer hingga produk hilir perkebunan.

Salah satu untuk meningkatkan produksi perkebunan dengan menggunakan pestisida sebagai pemberantas hama dan pupuk untuk meningkatkan hasil panen kedua zat kimia ini digunakan untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin terkadang tanpa melihat dampak atau efek yang ditimbulkan.

Pestisida yang paling banyak menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengancam kesehatan manusia adalah pestisida sintetik, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang disebabkan oleh senyawa organoklorin lebih tinggi dibandingkan senyawa lain, karena senyawa ini peka terhadap sinar matahari dan tidak mudah terurai (Sa’id, 1994). Penyemprotan dan pengaplikasian dari bahan-bahan kimia pertanian selalu berdampingan dengan masalah pencemaran lingkungan sejak bahan-bahan kimia tersebut dipergunakan di lingkungan. Sebagian besar bahan-bahan kimia pertanian yang disemprotkan jatuh ke tanah dan didekomposisi oleh mikroorganisme. Sebagian menguap dan menyebar di atmosfer dimana akan diuraikan oleh sinar ultraviolet atau diserap hujan dan jatuh ke tanah (Uehara, 1993).

Pestisida bergerak dari lahan perkebunan menuju aliran sungai dan danau yang dibawa oleh hujan atau penguapan, tertinggal atau larut pada aliran permukaan, terdapat pada lapisan tanah dan larut bersama dengan aliran air tanah. Penumpahan yang tidak disengaja atau membuang bahan-bahan kimia yang berlebihan pada permukaan air akan meningkatkan konsentrasi pestisida di air. Kualitas air dipengaruhi oleh pestisida berhubungan dengan keberadaan dan tingkat keracunannya, dimana kemampuannya untuk diangkut adalah fungsi dari kelarutannya dan kemampuan diserap oleh partikel-partikel tanah. Berdasarkan data yang diperoleh Theresia (1993) dalam Sa’id (1994), di Indonesia kasus pencemaran oleh pestisida menimbulkan berbagai kerugian. Di Lembang dan Pengalengan tanah disekitar kebun wortel, tomat, kubis dan buncis telah tercemar oleh residu organoklorin yang cukup tinggi. Juga telah tercemar beberapa sungai di Indonesia.

Karna pestisida berdampak kesungai akan berdampak terhadap kehidupan ekosistem yang ada disungai atau berkemungkinan adanya ekosistem yang akan punah akan adanya persitisida tersebut, dan itu juga akan merusak keanekaragaman hayati dan plasma nutfah di lingkungan.

III

PENUTUP

KESIMPULAN

  1. Pertanian adalah salah satu pertanian yang menanam tanaman tua dalam area yang luas.

Seperti tebu, cokelat, teh tembakau, kina, kelapa sawit, kapas, cengkeh dan tebu dan lain-lain

  1. Dari hasil data yang didapatkan luas areal perkebunan setiap tahun meningkat tetapi jumlah produksinya menurun.

a. Perkebunan adalah salah satu pertanian yang menanam tanaman tua dalam suatu areal yang luas

3 komentar:

  1. Hello Am Mrs, Morgan debra Am pemberi pinjaman pinjaman yang sah dan dapat diandalkan memberikan pinjaman
    pada syarat dan ketentuan yang jelas dan dimengerti pada tingkat bunga 2%. dari
    $ 12.000 untuk $ 7.000.000 USD, Euro dan Pounds Hanya. Saya memberikan Kredit Usaha,
    Pinjaman Pribadi, Pinjaman Mahasiswa, Kredit Mobil Dan Pinjaman Untuk Bayar Off Bills. jika Anda
    membutuhkan pinjaman apa yang harus Anda lakukan adalah bagi Anda untuk menghubungi saya secara langsung
    di: morgan debra 1986@gmail.com
    Semoga Tuhan Memberkati.
    Salam,
    Mrs Morgan debra
    Email: morgandebra1986@gmail.com
    Catatan: Semua balasan harus kirim ke: morgandebra1986@gmail.com

    BalasHapus
  2. Saya Widya Okta, saya ingin memberi kesaksian tentang karya bagus Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan sebagian lain dari kata tersebut, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman yang curang di sini di internet, tapi mereka tetap asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6-kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.

    Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya yang saya jelaskan situasi saya, kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang andal yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM dengan tarif rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)

    Jika Anda memerlukan bantuan dalam melakukan proses pinjaman, Anda juga bisa menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah terpenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sesuai kesepakatan dengan perusahaan pinjaman.

    Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.

    BalasHapus
  3. Las Vegas Hotel and Casino - Mapyro
    A casino, a hotel 부천 출장안마 and a poker room are included. 상주 출장샵 Address: 1211 S Las 밀양 출장마사지 Vegas Boulevard, 여수 출장샵 Las 포천 출장마사지 Vegas, NV 89109. Phone: (702) 226-9966. Website: www.lasvegas.com/Casinos/Fun

    BalasHapus